koalisi Wartawan Anti Kekeransan di sumatra Barat (sumbar) mengecap pihak tentara nasional angkatan udara linut, Padang, pasal nya TNI AU tersebut dituding sudah melanggar Undang-undang Pers nomor 40 tahun 1999, terkait upaya menghala-halangi tugas wartawan.
tudingan tersebut sebagaimana yang di tulis dalam pers release yang di terima media on line pesan rakyat, via email Kamis, tanggal 28/6, dalam pers release yang di terima media ini koalisi waratwan anti kekerasan sumatara utara menuliskan.
bahwa, Intimidasi dan upaya menghalang-halangi jurnalis dalam melaksanakan tugas yang dijamin UU No 40 tahun 1999 tentang Pers kembali terjadi. Kali ini dilakukan oleh sejumlah oknum anggota Pangkalan Udara (Lanud) TNI Angkatan Udara (AU) Padang.
Kejadian berawal dari peristiwa jatuhnya pesawat jenis Aerobatik Tipe N 21 H yang dikemudi oleh seorang pilot pensiunan Angkatan Udara Tentara Diraja Malaysia, Zakaria bin Shaleh (57) di Jalan Angkasa Puri, Kelurahan Tunggul Hitam, Kamis (23/6/2011). Zakaria, sore itu tengah melakukan uji fligh atau gladi resik akrobatik. Karena pesawat hilang kendali di udara, pesawat jatuh ke lahan kosong di sekitar rumah warga. Pilot yang sempat dilarikan ke Rumah Sakit M. Djamil, Padang akhirnya meninggal dunia.
Seperti diatur Pasal 6 UU No 40 tahun 1999 tentang Pers, dalam rangka memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui peristiwa yang jelas terkait dengan kepentingan publik tersebut, puluhan jurnalis dari berbagai cetak, online dan elektronik di Padang melakukan peliputan sejak dari lokasi jatuhnya pesawat hingga ke rumah sakit.
Sayangnya, ketika melakukan peliputan itu, sejumlah jurnalis dihalang-halangi bahkan sampai diintimidasi oleh beberapa oknum anggota TNI Angkatan Udara:
Di ruang Urusan Gawat Darurat Rumah Sakit Dr M Djamil Padang, dua jurnalis, masing-masing Ficky (jurnalis Padang TV) dan Rio May Putra (jurnalis salah satu televisi swasta) yang sedang mengambil gambar dari balik kaca rumah sakit tersebut, didatangi oknum anggota TNI AU berpakaian safari.
Orang yang mengaku anggota TNI AU tersebut meminta Ficky menghapus rekaman di dalam kamera. Dia mengancam bila gambar tidak dihapus, kamera akan dibanting.
Oknum anggota tersebut tidak jadi merebut kamera itu, karena Ficky mencoba bertahan bahwa ia sudah minta izin dengan Komandan Lanud yang sedang menjenguk korban. Walau sudah disebut minta izin, pria bersafari yang terlihat sebelumnya satu rombongan dengan prajurit berseragam TNI AU itu tidak percaya dan tetap ngotot meminta dua jurnalis berhenti mengambil gambar.
Meskipun belum mendapat izin Komandan Lanud, semestinya Rumah Sakit Umum merupakan areal yang bebas bagi jurnalis untuk meliput dengan tetap memperhatikan aturan yang biasa berlaku di tempat tersebut. TNI Angkatan Udara sama sekali tidak punya kewenangan untuk mengatur siapapun di luar areal markasnya, termasuk di Rumah Sakit Umum. Rumah Sakit Umum adalah kawasan publik.
Pelanggaran lainnya terjadi di areal jatuhnya pesawat di kawasan pemukiman warga di Tunggul Hitam, Kecamatan Koto Tangah, Padang. Belasan jurnalis dihalang-halangi untuk mengambil foto dan gambar bangkai pesawat yang jatuh. Meskipun berada di luar police line dan tidak mengganggu proses evakuasi bangkai pesawat, jurnalis diusir antara lain dengan cara dibentak-bentak, didorong, dilempari batu dan potongan kayu.
Juru foto Deri Okta Zulmi (Singgalang), Ridwan (Padang Ekspres) dan Ista Yuki (Posmetro Padang) dihalangi dengan cara didorong dan dibentak. Jurnalis Metro TV Afriyandi yang sedang mengambil gambar disodok dengan galah sambil dibentak-bentak oleh salah seorang oknum TNI Angkatan Udara yang mengenakan masker (Bukti rekaman kejadian terlampir). Demikian juga yang terjadi pada jurnalis televisi lainnya, Deden dan jurnalis SCTV Arset Kusnadi, dihalangi untuk mengambil gambar. Di sisi lain, jurnalis Radio KBR 68H Zulia Yandani yang sedang mewawancarai warga sebagai saksi mata, diusir oleh oknum lainnya.
Sementara itu, jurnalis Media Indonesia Hendra Makmur dan jurnalis Kompas Ingki Rinaldi yang sedang mengambil foto dari semak-semak di luar police line beberapa kali dilempari batu dan potongan kayu sambil dibentak-bentak. Meskipun lemparan tersebut tidak melukai karena tidak mengenai kedua jurnalis, kejadian tersebut jelas merupakan intimidasi terhadap jurnalis yang sedang melakukan tugas jurnalistik.
Aparat TNI Angkatan Udara yang mengevakuasi bangkai pesawat sejak semula terlihat berusaha keras agar bangkai pesawat tidak bisa dilihat. Mereka menutupi hampir seluruh bagian pesawat dengan terpal. Karena tidak cukup terpal, ada bagian kecil yang masih bisa dilihat. Ketika wartawan mencoba mengambil gambar bagian yang terlihat itu, mereka mengusirnya.
Kawasan perumahan warga, tempat jatuhnya pesawat adalah kawasan di luar militer. Sehingga, tidak ada kewenangan sedikit pun dari TNI Angkatan Udara untuk mengusir siapapun dari kawasan tersebut.
Ketegangan antara jurnalis dengan anggota TNI Angkatan Udara sudah terjadi sejak sehari sebelumnya karena salah seorang oknum anggota TNI AU sempat menyebut kalimat tidak pantas yang melecehkan kepada wartawan di Lanud Tabing, Padang. Padahal, kehadiran wartawan karena diundang untuk meliput pembukaan Minang Aerosport 2011 yang diadakan Lanud TNI AU Padang.
Rangkaian peristiwa yang menimpa sejumlah jurnalis itu jelas merupakan pelanggaran nyata terhadap hukum yang mestinya dijunjung tinggi. Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers jelas adalah hukum negara yang harus dipatuhi, tidak saja oleh wartawan, tetapi oleh seluruh warga Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk tentara.
Penghalang-halangan meliput yang sampai mengarah pada intimidasi tersebut adalah pelanggaran Pasal 4 ayat (2) dan (3) UU No 40 tahun 1999 tentang Pers.. Pasal 4 ayat (2) UU ini mengatur, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Sementara ayat (3) mengatur, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, mempero1eh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Berdasarkan hal tersebut di atas, kami para jurnalis dari lintas organisasi wartawan dan lintas media yang tergabung ke dalam Koalisi Wartawan Anti Kekerasan-Sumatera Barat menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Mendesak Komandan Pangkalan Udara TNI Angkatan Udara Padang untuk mengusut tuntas berbagai kasus pelanggaran UU Pers yang dilakukan oleh oknum anggotanya dan mengumumkan kepada publik.
2. Meminta para pelaku tindak kekerasan terhadap jurnalis tersebut meminta maaf kepada masyarakat atas pelanggaran hukum yang mereka lakukan.
3. Meminta Panglima TNI dan Kepala Staf TNI Angkatan Udara melakukan pengawasan terhadap proses pengusutan oknum anggota TNI AU yang melakukan pelanggaran tersebut.
4. Koalisi Wartawan Anti Kekerasan-Sumatera Barat berempati dan turut berduka atas musibah jatuhnya pesawat yang memakan korban tersebut. Empati itu ditunjukkan dengan menunda waktu beberapa hari setelah musibah untuk menyoal masalah ini. Namun, keprihatinan terhadap musibah tidak boleh dijadikan alasan untuk membiarkan pelanggaran hukum dan pelecehan profesi jurnalis.
Tertanda Koalisi Wartawan Anti Kekerasan – Sumatera Barat , demikian isi pers release dituliskan.(red/dln)
tudingan tersebut sebagaimana yang di tulis dalam pers release yang di terima media on line pesan rakyat, via email Kamis, tanggal 28/6, dalam pers release yang di terima media ini koalisi waratwan anti kekerasan sumatara utara menuliskan.
bahwa, Intimidasi dan upaya menghalang-halangi jurnalis dalam melaksanakan tugas yang dijamin UU No 40 tahun 1999 tentang Pers kembali terjadi. Kali ini dilakukan oleh sejumlah oknum anggota Pangkalan Udara (Lanud) TNI Angkatan Udara (AU) Padang.
Kejadian berawal dari peristiwa jatuhnya pesawat jenis Aerobatik Tipe N 21 H yang dikemudi oleh seorang pilot pensiunan Angkatan Udara Tentara Diraja Malaysia, Zakaria bin Shaleh (57) di Jalan Angkasa Puri, Kelurahan Tunggul Hitam, Kamis (23/6/2011). Zakaria, sore itu tengah melakukan uji fligh atau gladi resik akrobatik. Karena pesawat hilang kendali di udara, pesawat jatuh ke lahan kosong di sekitar rumah warga. Pilot yang sempat dilarikan ke Rumah Sakit M. Djamil, Padang akhirnya meninggal dunia.
Seperti diatur Pasal 6 UU No 40 tahun 1999 tentang Pers, dalam rangka memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui peristiwa yang jelas terkait dengan kepentingan publik tersebut, puluhan jurnalis dari berbagai cetak, online dan elektronik di Padang melakukan peliputan sejak dari lokasi jatuhnya pesawat hingga ke rumah sakit.
Sayangnya, ketika melakukan peliputan itu, sejumlah jurnalis dihalang-halangi bahkan sampai diintimidasi oleh beberapa oknum anggota TNI Angkatan Udara:
Di ruang Urusan Gawat Darurat Rumah Sakit Dr M Djamil Padang, dua jurnalis, masing-masing Ficky (jurnalis Padang TV) dan Rio May Putra (jurnalis salah satu televisi swasta) yang sedang mengambil gambar dari balik kaca rumah sakit tersebut, didatangi oknum anggota TNI AU berpakaian safari.
Orang yang mengaku anggota TNI AU tersebut meminta Ficky menghapus rekaman di dalam kamera. Dia mengancam bila gambar tidak dihapus, kamera akan dibanting.
Oknum anggota tersebut tidak jadi merebut kamera itu, karena Ficky mencoba bertahan bahwa ia sudah minta izin dengan Komandan Lanud yang sedang menjenguk korban. Walau sudah disebut minta izin, pria bersafari yang terlihat sebelumnya satu rombongan dengan prajurit berseragam TNI AU itu tidak percaya dan tetap ngotot meminta dua jurnalis berhenti mengambil gambar.
Meskipun belum mendapat izin Komandan Lanud, semestinya Rumah Sakit Umum merupakan areal yang bebas bagi jurnalis untuk meliput dengan tetap memperhatikan aturan yang biasa berlaku di tempat tersebut. TNI Angkatan Udara sama sekali tidak punya kewenangan untuk mengatur siapapun di luar areal markasnya, termasuk di Rumah Sakit Umum. Rumah Sakit Umum adalah kawasan publik.
Pelanggaran lainnya terjadi di areal jatuhnya pesawat di kawasan pemukiman warga di Tunggul Hitam, Kecamatan Koto Tangah, Padang. Belasan jurnalis dihalang-halangi untuk mengambil foto dan gambar bangkai pesawat yang jatuh. Meskipun berada di luar police line dan tidak mengganggu proses evakuasi bangkai pesawat, jurnalis diusir antara lain dengan cara dibentak-bentak, didorong, dilempari batu dan potongan kayu.
Juru foto Deri Okta Zulmi (Singgalang), Ridwan (Padang Ekspres) dan Ista Yuki (Posmetro Padang) dihalangi dengan cara didorong dan dibentak. Jurnalis Metro TV Afriyandi yang sedang mengambil gambar disodok dengan galah sambil dibentak-bentak oleh salah seorang oknum TNI Angkatan Udara yang mengenakan masker (Bukti rekaman kejadian terlampir). Demikian juga yang terjadi pada jurnalis televisi lainnya, Deden dan jurnalis SCTV Arset Kusnadi, dihalangi untuk mengambil gambar. Di sisi lain, jurnalis Radio KBR 68H Zulia Yandani yang sedang mewawancarai warga sebagai saksi mata, diusir oleh oknum lainnya.
Sementara itu, jurnalis Media Indonesia Hendra Makmur dan jurnalis Kompas Ingki Rinaldi yang sedang mengambil foto dari semak-semak di luar police line beberapa kali dilempari batu dan potongan kayu sambil dibentak-bentak. Meskipun lemparan tersebut tidak melukai karena tidak mengenai kedua jurnalis, kejadian tersebut jelas merupakan intimidasi terhadap jurnalis yang sedang melakukan tugas jurnalistik.
Aparat TNI Angkatan Udara yang mengevakuasi bangkai pesawat sejak semula terlihat berusaha keras agar bangkai pesawat tidak bisa dilihat. Mereka menutupi hampir seluruh bagian pesawat dengan terpal. Karena tidak cukup terpal, ada bagian kecil yang masih bisa dilihat. Ketika wartawan mencoba mengambil gambar bagian yang terlihat itu, mereka mengusirnya.
Kawasan perumahan warga, tempat jatuhnya pesawat adalah kawasan di luar militer. Sehingga, tidak ada kewenangan sedikit pun dari TNI Angkatan Udara untuk mengusir siapapun dari kawasan tersebut.
Ketegangan antara jurnalis dengan anggota TNI Angkatan Udara sudah terjadi sejak sehari sebelumnya karena salah seorang oknum anggota TNI AU sempat menyebut kalimat tidak pantas yang melecehkan kepada wartawan di Lanud Tabing, Padang. Padahal, kehadiran wartawan karena diundang untuk meliput pembukaan Minang Aerosport 2011 yang diadakan Lanud TNI AU Padang.
Rangkaian peristiwa yang menimpa sejumlah jurnalis itu jelas merupakan pelanggaran nyata terhadap hukum yang mestinya dijunjung tinggi. Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers jelas adalah hukum negara yang harus dipatuhi, tidak saja oleh wartawan, tetapi oleh seluruh warga Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk tentara.
Penghalang-halangan meliput yang sampai mengarah pada intimidasi tersebut adalah pelanggaran Pasal 4 ayat (2) dan (3) UU No 40 tahun 1999 tentang Pers.. Pasal 4 ayat (2) UU ini mengatur, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Sementara ayat (3) mengatur, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, mempero1eh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Pelanggaran terhadap dua ayat dalam Pasal 4 tersebut diancam dengan pidana penjara. Pasal 18 (1) UU Pers menyebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Berdasarkan hal tersebut di atas, kami para jurnalis dari lintas organisasi wartawan dan lintas media yang tergabung ke dalam Koalisi Wartawan Anti Kekerasan-Sumatera Barat menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Mendesak Komandan Pangkalan Udara TNI Angkatan Udara Padang untuk mengusut tuntas berbagai kasus pelanggaran UU Pers yang dilakukan oleh oknum anggotanya dan mengumumkan kepada publik.
2. Meminta para pelaku tindak kekerasan terhadap jurnalis tersebut meminta maaf kepada masyarakat atas pelanggaran hukum yang mereka lakukan.
3. Meminta Panglima TNI dan Kepala Staf TNI Angkatan Udara melakukan pengawasan terhadap proses pengusutan oknum anggota TNI AU yang melakukan pelanggaran tersebut.
4. Koalisi Wartawan Anti Kekerasan-Sumatera Barat berempati dan turut berduka atas musibah jatuhnya pesawat yang memakan korban tersebut. Empati itu ditunjukkan dengan menunda waktu beberapa hari setelah musibah untuk menyoal masalah ini. Namun, keprihatinan terhadap musibah tidak boleh dijadikan alasan untuk membiarkan pelanggaran hukum dan pelecehan profesi jurnalis.
Tertanda Koalisi Wartawan Anti Kekerasan – Sumatera Barat , demikian isi pers release dituliskan.(red/dln)
Komentar