Oleh :Dahlan.Za
“Asmara” memang menjadi alasan salah satu faktor menggoncangkan jiwa, baik dalam posisi bagaimana pun, tidak selamanya asmara berujung bahagia, meski asmara di indentik dengan sejuta tawa, Ceria dan gembira yang diikan dengan kerelaan hati.
Rela dominan mengiringi ke ceriaan , gembiraan, ke sukaan dan rasa kasih sayang, yang menimbun sebuah tujuan, yang berlandaskan visi kehidupan yang diinginkan oleh seseorang maupun kelompok.
Namun tak jarang “rela” akhirnya menjadi dendam, perselisihan, kebencian malah lebih dari itu, “rela” terkadang bisa membawa duka yang mendalam.
Hal itu tidak terlepas dari sifat egoisme, sukuisme dan strenisme, akibat tidak pandai menempatkan rasa “Rela”, seyogianya Rela tidak selamanya mengiringi hasyarat semata, tapi alangkah indahnya “rela” mampu mengisi posisi saling pengertian, kepuasan dan “Rela” mampu menjadi tali Pengikat silaturrahmi yang hakiki.
Orang bijak berkata” cinta yang suci tidak selamanya berhasrat untuk bersama, tapi selalu berupaya saling Bahagia,” justru kebalikan dari kata-kata mutiara itu, selama ini “Rela” bertindak.
Sehingga Kerelaan yang senantiasa diagungkan, berubah menjadi Gila, kehilangan akal sehat ,konon lagi Gila ini, mampu menghancurkan Mahligai Cinta yang pernah terpatri, mencabik-cabik janji suci, menghancurkan silaturrahmi, akibat berganti simbul Rela Juga mengakibatkan korban nyawa.
Pada hal awal mula nya lahirnya Rela, pasca merajutnya rasa –rasa yang agung, Cinta, Kasih, Sayang, Rindu, iba, dan sebagainya, yang bertujuan saling membagi ,memberi dan menerima.
Dalam tulisan ini ,penulis ingin memastikan kepada pembaca, sebenarnya “rela” yang kita miliki di dada masing-masih, apakah mampu mendukung kehidupan sesama yang lebih hakiki, atau hanya Relamitasi semata yang kita miliki..?, sehingga Opsesi individulisme yang diTuhankan.(**)
Komentar